“Sialan kau Her” kau yang bilang padaku kalau orang yang pandai itu pasti dipandang. Tak semua yang kau katakan itu benar, bahkan aku bisa tak percaya kepada omongan kau yang membuat semua yang aku punya menjadi tumpul. Rasa ingin maju itu kini sirna setelah semua yang kau katakan tidak ada artinya bagiku. Bagaikan langkah yang terhapus oleh derasnya hujan yang turun di malam hari. Turun dengan cepat dan menghapus segala yang ia lihat hingga tak ada sepasang matapun yang dapat menemukannya lagi. Hingga langit pun tak dapat lagi menampilkan warna birunya ke permukaan bumi. Tak ada satu kata yang kau rangkai sedemikian rupa berubah menjadi bunga melati yang memutih warnanya yang menghiasi setiap langkah kehidupan. Putih yang melambangkan keserasian dan keharmonisan telah terhapus oleh sebuah rangkaian dari beberapa huruf kapital yang bisa merubah segalanya. Banyak orang bilang kata-kata itu tak penting yang terpenting adalah perbuatan, tapi bagiku rangkaian huruf-huruf yang berubah menjadi fonem yang berubah menjadi morfem yang berubah menjadi kata yang berubah menjadi frase yang berubah menjadi klausa dan berubah menjadi sebuah kalimat itu lebih penting dibandingkan sepuluh kilo emas batangan yang dapat mempengaruhi hasrat setiap orang untuk memilikinya dan dapat merusak tatanan keluarga yang harmonis berubah menjadi seseatu yang mengerikan dan dapat menumpahkan setetes darah yang berharga bagi beberapa orang.
“hai Hernandes” kau pernah bilang bahwa bila kita melakukan sesuatu untuk orang lain maka tindakan kita akan dihargai mereka. Kata-kata itu persis aku dengar ditelingaku bahkan sampai kau ulang sebanyak dua kali, aku ingat sekali kapan kau katakan itu semua, siang hari di depan sebuah patung pejuang yang agak tinggi yang disekelilingnya terdapat berbagai tanaman bunga dengan berbagai warna, didepannya terbentang jalan aspal yang memanas seiring terik matahari yang saling bertabrakan dengan warna hitam aspal jalan itu. Diselimuti suasana yang sedikit menegangkan tapi seketika dapat tenang kembali setelah hembusan angin menyadari setiap pikiran orang-orang yang lalu-lalang disekitar trotoar jalan. Tepatnya ditaman dekat perumahan para pejabat-pejabat negeri ini yang kerjanya hanya duduk dikelilingi gudget dari alat-alat elektronik yang mereka miliki, menekannya menggesernya dan melakukan perbuatan itu terus-menerus hingga waktu yang tak ditentukan, orang itu akan berhenti menyentuh alat yang bisa jadi bukan miliknya itu ketika ada kata-kata yang masuk kedalam kedua kupingnya dengan nada yang rendah tetapi lama-kelamaan semakin meninggi hingga kata-kata itu sampai kedalam hatinya dan mengetuk pintu hati yang seakan terkunci padahal tak seorangpun tau dimana pintu itu berada.
Hernandes!
Seketika itu aku terdiam dengan hati menyembunyikan banyak pertanyaan rumit. “apakah kata itu benar?”
“apa ada yang kurang?”
“atau aku yang tak mengerti?”
Kau pasti ingat ketika aku melangkah menjauh dari tempatmu berdiri sewaktu didepan patung pejuang itu, jariku mengisyaratkan kepadamu dengan angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Mulutku seakan tak berkeinginan untuk mengatakan satu patah katapun, kalau aku ingin dengan keinginan yang sedikiiiit saja aku akan mengatakannya hingga lidah yang tak bertulang ini dapat patah seketika. Lidah yang bisa aku gunakan untuk mengeluarkan kata-kata mutiara tiba-tiba tak berfungsi seperti setiap organ yang ada di dalam tubuhku memiliki nyawanya masing-masing dan hanya nyawa lidah kulah yang ditarik oleh malaikat yang kata orang berparas jahat padahal mereka belum pernah sama sekali bertemu, jangankan bertemu membayangkan saja tak pernah bagaimana parasnya bagaimana wataknya dan segala apa yang menempel di jasat malaikat pencabut nyawa itu.
Setelah hari itu berlalu, pikiranku berlari kencang dengan langkah yang beribu-ribu jumlahnya, terus berlari menerobos rintangan yang ada, tak memikirkan apa resiko yang akan terjadi setelah itu. Berlomba-lomba dengan kecepatan mobil polisi berlogo kuda jingkrak merah merekah dengan hiasan lampu yang melihat fokus kedepan jalan dengan bemper depan yang menyerupai mulut yang terbuka lebar yang siap melahap apa yang ada didepannya, mobil itu mengejar seorang pencuri berkelas yang tak ada narapidana lainnya menempati penjara yang sudah ditempatinya dimasa-masa suramnya. Setelah sekian lama berlari, pikiranku tersungkur ke dalam lubang yang gelap, bau, kotor. Mungkin orang gila sekalipun tidak mau lewat diatasnya apalagi terjatuh kedalamnya, tapi waktu yang menentukan. Pikiranku sudah terlanjur jatuh kedalamnya. Aku heran ketika ada titik merah disekitar dinding-dinding lubang itu, lebih kaget lagi ketika ada warna biru yang tumpah disekitar titik-titik warna merah itu. Pikiranku tiba-tiba meneriakkan kata.
“AKU BODOH”
“AKU TAK BERBAKAT”
Dan
“KAMU BOHONG”
Kata-kata itu bergema karena pantulan dari dinding-dinding lubang, gema memang menarik, memiliki daya tarik tersendiri, gema itu kemudian menuntun pikiranku untuk keluar dari lubang kegelapan itu, ternyata lubang itu berujung di bawah patung pejuang dimana tempat aku dan Hernandes saling menatap satu sama lain dan mencoba mencari apa yang ada dipikian masing-masing. Harap-harap cemas langsung menyelimuti pikiranku. Ia keluar dari lubang itu dengan susah payah melawan setiap tarikan dari dalam dengan tarikan yang teramat jahat dengan tak membiarkan pikiranku untuk keluar mencari sehirup udara bebas dari belenggu bau, dan kotoran-kotoran yang tidak etis sekali.
“AKU BERHASIL”
Kata yang sebelumnya berubah menjadi kata yang pikiranku teriakkan, kini suaranya lebih keras dari yang tadi. Pikiranku duduk sejenak menghilangkan rasa lelah setelah membakar stamina yang terbakar lewat pori-pori saraf yang ada didalamnya. Diriku lalu menjemputnya ditaman dekat perumahan orang-orang yang berbaju rapih duduk dengan tenang sedangkan orang yang berbaju compang-camping berteriak didalam air laut yang rasanya begitu asin. Rasa manislah yang mereka rasakan karena mereka menjemput kewibawaan mereka sendiri dengan perbuatan dan kata-kata yang mereka sebutkan disamping kaca mobil mewah yang berlambang bintang tiga berwarna perak yang ditempel didepan mobil itu. Ternyata jemputan itu sangat berarti bagi pikiranku, hampir saja pikiranku dirampas oleh orang lain jika dalam satu detik saja aku tidak menjemputnya.
Pelarian yang penuh keringat itu, lubang gelap, bau, kotor, titik merah, warna biru yang tumpah, mobil-mobil mewah, dan rasa manisnya air laut ternyata menjadi saksi kunci betapa kata-kata yang dibarengi dengan tindakan itu sangat penting. Kita hidup bukan hanya dengan tindakan, tetapi dengan kata yang kita ucapkan dari lidah kita bersumber dari hati kita yang paling dalam yang sebenarnya tak terkunci. Semua itu memberikan jawaban yang menenangkan pikiranku, bahwa ternyata yang dikatakan Hernandes itu tidak salah tetapi kurang dapat mencolek setiap sendi-sendi nilai kehidupan yang kita jalani yang bila diukur dengan ilmu matematika akan berjumlah sama besar. Tak ada yang kecil dan tak ada yang lebih. SEMUA SAMA. Tetapi bagaiman kita merangkai sebuah tindakan yang kita bungkus dengan kata-kata yang bijak yang dapat menarik semua insan untuk berjalan, berlari bersama.
“Hernandes” ternyata yang ku katakan bukan salah tetapi kurang. Untuk mengakhiri semua ini akan aku tambahkan kata-kata untuk melengkapi kata-katamu yang menjadi kontrofersi bagi pikiranku.
“orang yang pandai itu pasti dipandang jika ia bertindak dengan disertai kata–kata yang keluar dari lidahnya dengan tenang.”
Thor dan Hernandes
Oleh : Miftahussurur