“byur”
“Abaaang”
“Banguuun”
Suara itu terdengar jelas dikedua telingaku, suara keras bergetar ditelinga menggetarkan setiap sendi-sendi tubuhku. Saraf-saraf dan urat-urat yang ada mulai bergerak untuk memulai setiap tugasya. Detak jantung yang tadinya pelan telah berubah menjadi sebuah perjalanan yang panjang berisi berbagai misi-misi tersembunyi tuk disselesaikan disetiap lapisan kehidupan.
Itu suara Bundaku. Walaupun frekuensinya tinggi tetapi hasrat untuk memaksanya sama sekali tidak ada. Yang ada hanya kasih sayang yang selalu terbingkiskan di dalam serangkai senyum yang mencuat dari bibirnya.
Pagi itu matahari sudah menampilkan wajahnya, tetapi aku baru bangun dari dunia dimana banyak kesenangan disana, waktu tak berlaku disana, semua orang dapat masuk kedalamnya tanpa harus daftar terlebih dahulu, tanpa berkenalan kita sudah dapat mengenali mereka, sekalipun kita tak kenal dan tak pernah berpapasan dan bertemu sebelumnya.
Tepat pukul 6 pagi aku baru tersadar. Tapi seakan apa yang aku alami didunia yang tak berpemimpin itu menjadikan aku merasakan sebuah hemasan dari waktu yang sangat panjang, melebihi jalan terpanjang yang ada di dunia nyata sekalipun.
Sebenarnya aku sudah tersadar sebelumnya tapi sekedar untuk bermunajat dihadapan Yang Maha Kuasa, menceritakan apa yang aku inginkan dan yang aku keluhkan selama waktu itu berputar. Setelah itu aku kembali kedalam dunia yang banyak orang bilang dengan nama “Bunga Tidur”. Kembali mengarungi hempasan ombak yang ada didalamnya dan menghantam setiap tembok yang menghalangi setiap langkah sang hamba untuk berkembang.
“Sudah pagi”
“Sudah Shalat Subuh?”
Pertanyaan itu sering aku temui disetiap kesempatan-kesempatan penting. Terutama terjadi setiap pagi dimana semua anak baru tersadar dari dunia yang tak berpemimpin itu. Bahkan ada yang mengalami dunia yang gelap gulita tanpa sinar rembulan yang menyatu dengan sinar matahari dan bergabung menjadi sebuah titik-titik cahaya yang bergabung menjadi sepucuk sinar mentari. Memberikan warna kemerahan dilangit dan menggeser awan-awan putih yang menggumpal dan menutupi mata dunia dan menutup setiap sela-sela bumi untuk dimasukinya.
“Sudah Bunda”aku menjawab dengan suara yang pelan mengikuti setiap gerak-gerik bibir sang bunda.
Memang. Dikeluargaku aku adalah anak petama yang dilahirkan oleh pasangan suami istri ini. Nilai-nilai kegamaan yang ditanamkan sejak kecil sudah masuk ke dalam sanubariku yang terdalam sehingga tak ada satu jasadpun yang dapat mengusiknya. Merusaknya dengan ajaran-ajaran baru yang berasal dari orang-orang yang berbusana Jas Hitam, Bersepatu Besar, dan Berdasi.
Aku pernah bertanya sesuatu yang aku pikir sepele tapi tak apalah untuk aku tanyakan.
“Bun, Kenapasih Aku dipanggil “Abang”?”
Pertanyaan itu belum terjawab sampai dua minggu berlalu. Hari-hariku menjadi banyak tanya akan jawaban yang muncul. Aku bertanya sejak aku berumur sekitar 11 tahun. Pada masa itu aku mulai mengerti apa yang terjadi dan terlintas diduniaku.
“Tau gak kenapa panggilan itu ada?”Sahut Bundaku sesaat setelah aku menjawab pertanyaan sebelumnya.
Aku mengambil posisi terbaik untuk mendengarkan setiap kata-kata yang akan keluar dari bibir-bibir jujur yang dihiasi oleh merahnya hati sanubari berisi nilai-nilai keagamaan yang bersinar melengkapi setiap huruf-huruf yang dirangkai menjadi seikat faham-faham yang akan dituangkan kesetiap gelas-gelas kosong yang diciptakan oleh Sang Pencipta
kekecewaan
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar